Image Description

AFPI dan EY Luncurkan Riset Segmentasi UMKM Untuk Perkuat Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Jakarta, 14 Juli 2023 – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bekerja sama dengan EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset yang mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat segmentasi yang lebih rinci untuk mendukung pengambilan kebijakan pemberian pembiayaan dapat lebih tepat sasaran bagi pemangku kepentingan termasuk penyelenggara Fintech Peer to Peer (P2P) Lending demi memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui peranan UMKM.


Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengungkapkan AFPI sebagai asosiasi yang menaungi penyelenggara Fintech P2P Lending, merasa perlu dilakukan pemetaan segmentasi UMKM untuk mengetahui lebih rinci mengenai kondisi UMKM di Tanah Air sehingga dapat memberikan pendanaan yang tepat sasaran. Anggota AFPI, melalui pemanfaatan digitalisasi diharapkan dapat menjadi motor peningkatan penyaluran pembiayaan khususnya untuk menjangkau pasar unbanked dan underserved.


“Dalam riset AFPI dan EY, dirasa perlu menambahkan elemen literasi digital dan literasi keuangan, untuk memperkuat segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini. Harapannya anggota AFPI dapat menambah visibilitas terhadap potensi UMKM ke depan, sehingga menjadi sumbangsih nyata kami terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Sunu dalam acara peluncuran riset EY dan AFPI berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia, di Plataran Senayan Jakarta, Jumat (14/7/2023).


Empat segmentasi baru yang hasil riset AFPI dan EY, yakni (1). Kelompok Bisnis Prospektif: Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis. (2). Kelompok Kebutuhan Dasar: Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi. (3). Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status-quo mereka. (4). Kelompok Bisnis Unggul: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.

Segmentasi ini dirancang untuk melengkapi segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini, atau yang dikelompokkan berdasarkan modal usaha dan pendapatan per annum sesuai PP No. 7 Tahun 2021. Segmentasi baru juga mengakomodir jumlah karyawan, tingkat maturitas digital dan finansial, dan tipe industri baik yang manufaktur atau servis di pasar UMKM, sehingga memperluas cakupan pemahaman profil dan perilaku UMKM, serta mendorong pembentukan kebijakan dan penetrasi pembiayaan yang lebih akurat di masa depan.

Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bambang W. Budiawan mengatakan pihaknya mengapresiasi AFPI dan EY yang telah menginisiasi kajian yang dapat menjadi masukan pemangku kepentingan agar bisa merumuskan kebijakan yang pas dari sisi penguatan dan pengembangan fintech lending untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran pembiayaan UMKM.


Bambang mengungkapkan, dengan penduduk sebanyak 270 juta jiwa dan penetrasi internet menembus 216 juta, maka di tahun 2030 ekonomi digital Indonesia diperkirakan dapat tumbuh mencapai USD 360 miliar dengan berbagai inovasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Hingga akhir tahun ini pemerintah juga sudah menargetkan sebanyak 24 juta UMKM bisa masuk ke ekosistem digital dan 30 juta UMKM pada 2030, disertai dukungan kebijakan pembiayaan bagi UMKM.


“OJK, bersama Pemerintah, Bank Indonesia, dan stakeholders lainnya berkomitmen untuk mendukung upaya mencapai target tersebut. Jika kita lihat Indonesia menunjukkan pemulihan yang cepat dari 2 sampai 3 tahun yang lalu, didukung oleh behaviour masyarakat yang serba digital terutama untuk penggunaan fintech, termasuk fintech lending yang terus meningkat. Sebagai penyedia pendanaan yang cepat dan mudah bagi UMKM, kami mendukung industri fintech lending dapat mengoptimalkan perannya dalam ekosistem dan memperluas kolaborasi dengan LJK lainnya dan non-LJK,” kata Bambang.


UMKM menjadi penting untuk terus didukung, hal ini mengingat UMKM terus bertindak sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia berkat kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sekitar 62% dan penyerapan tenaga kerja mencapai 97% tenaga kerja di Indonesia. Namun, dengan jumlah yang terus berkembang setiap tahunnya dan potensi terus tumbuh kontribusinya secara signifikan, UMKM masih menghadapi kendala dalam mendapatkan akses ke fasilitas pembiayaan sehingga perlu didukung oleh seluruh para pemangku kepentingan.


Ketua Bidang Humas AFPI sekaligus CEO & Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, AFPI dan EY mengidentifikasi bahwa penyebaran permintaan pembiayaan di seluruh wilayah tidak seragam karena memiliki komposisi klaster yang unik. Permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali yakni 62% dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022 dan akan menjadi 61% pada 2026. Adapun pada 2022, total supply pembiayaan UMKM Rp 1.400 Triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp 1.900 Triliun.


Andi Taufan menambahkan, segmen dengan pertumbuhan tertinggi terdapat di Indonesia Timur dengan skala Ultra Mikro dan Mikro (Segmen Bisnis Prospektif) yang memiliki laju pertumbuhan CAGR 23,1% antara 2022-2026. Permintaan pembiayaan dari Indonesia Timur diperkirakan mencapai Rp 250 Triliun pada 2026, dimana 24% atau sekitar Rp 60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif. Namun, sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di daerah tersebut. Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang (Segmen Bisnis Konvensional Bertahan) masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan. Kondisi ini membutuhkan kombinasi program pembiayaan dan kesadaran untuk membantu UMKM tumbuh optimal.


“Dengan memahami profil pembiayaan yang berbeda di setiap daerahnya, maka lembaga keuangan termasuk anggota AFPI dapat mengetahui potensi pendanaan yang dapat disalurkan. Dengan demikian segmentasi klaster UMKM ini dapat menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dalam merumuskan inisiatif kebijakan utama yang sesuai dengan profil daerah masing-masing,” kata Andi Taufan.


Partner @ EY Parthenon Indonesia, Strategy and Transactions, Anugrah Pratama mengatakan, definisi nasional tentang UMKM yang ada saat ini masih memiliki ruang untuk pengembangan disesuaikan dengan industri yang membutuhkan. Melalui riset ini harapannya agar seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah akan memiliki definisi terpadu untuk dapat menyelaraskan dan menyusun strategi yang lebih kuat untuk segmen UMKM.


Untuk Kelompok Bisnis Prospektif fokus kebijakan yang dibutuhkan terkait kemudahan akses pembiayaan. Untuk Kelompok Kebutuhan Dasar yaitu kebijakan terkait peningkatan kesadaran digital dan finansial mereka. Sementara itu, Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan membutuhkan kebijakan terkait peningkatan kesadaran digital dan finansial. Untuk Kelompok Bisnis Unggul adalah kebijakan terkait peningkatan penyediaan pembiayaan dan akses pengembangan bisnis.


“Segmentasi UMKM ini menjawab sejumlah kemungkinan risiko pembiayaan khusus per klaster yang harus diperhatikan. Setiap klaster tersebut membutuhkan serangkaian intervensi kebijakannya sendiri berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki. Oleh karena itu, pengambilan langkah yang tepat sangat penting agar pembiayaan tidak salah sasaran dan terhindar dari kesenjangan yang semakin besar,” kata Anugrah.


EY memproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp 4.300 triliun dengan kemampuan supply hanya Rp 1.900 triliun. Artinya terdapat selisih atau gap sebesar Rp 2.400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan. Permintaan beserta supply bertumbuh dengan laju pertumbuhan yang hampir sama, yakni Compound Annual Growth Rate (CAGR) ~7,2% dari tahun 2022 hingga 2026. Hal ini menyebabkan selisih pembiayaan juga bertumbuh dengan laju CAGR ~7%, sehingga gap akan terus melebar dikarenakan laju pertumbuhannya yang masih positif.


“Kesenjangan dapat terus melebar jika kondisi pasokan pembiayaannya tetap sama tanpa dibarengi kebijakan pendukung tambahan. Insentif pendanaan yang menarik tentunya akan mendorong peningkatan pasokan pembiayaan tersebut dan dalam hal ini, fintech lending dapat memainkan peran yang lebih besar karena risk appetite dan aksesibilitas platformnya lebih cocok dengan UMKM yang mendorong permintaan,” ujar Anugrah.

***

Share: