Image Description

Para CEO Fintech Lending Bahas Strategi Bisnis Industri 2023

JAKARTA, 20 DESEMBER 2022 – Para Chief Executive Officer (CEO) atau pemimpin perusahaan fintech lending anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berdiskusi dalam acara CEO’s Mind dengan tema Business, Financial, and Economic Outlook bahas potensi, tantangan dan arah industri fintech lending 2023.

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menyampaikan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi semua pihak lantaran adanya ancaman resesi global. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan, Pemerintah telah menyampaikan bahwa posisi Indonesia akan lebih resilient dalam menghadapi ancaman tersebut. Oleh karena itu pemerintah dan pelaku bisnis tetap optimis dapat menghadapi kondisi tahun depan. 

Selain dihadiri oleh hampir seluruh CEO dan manajemen dari 102 perusahaan anggota AFPI yang merupakan perusahaan penyelenggara fintech lending atau fintech pendanaan, acara CEO’s Mind juga menghadirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ekonom untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai tantangan dan potensi industri fintech lending pada 2023 pasca pandemi.

“Melalui acara CEO’s Mind ini, kita berkumpul berdiskusi bersama seluruh pimpinan penyelenggara fintech lending beserta perwakilan dari OJK dan ekonom untuk memberikan gambaran, arahan untuk mempersiapkan business plan (rencana bisnis) industri fintech lending 2023.  Dengan business plan yang baik, kita akan lebih siap menyongsong tahun 2023 dan berkolaborasi lebih erat dengan Lembaga Jasa Keuangan termasuk dengan perbankan. Kita semua bisa bergandeng tangan menghadapi tahun depan dengan lebih percaya diri,” ujar Sunu, dalam acara CEO’S Mind, di Jakarta, Senin (19/12/2022).

Sunu menambahkan penyusunan rencana bisnis yang kuat menjadi kunci penting dalam menjaga kelangsungan dan kualitas bisnis seiring dengan semakin matang dan mengakarnya peran industri fintech lending di Tanah Air. Penerbitan POJK Nomor 10 tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) telah mengubah posisi industri fintech lending dari sebelumnya masih diposisi sebagai start-up atau industri rintisan, kini ‘naik kelas’ menjadi lembaga jasa keuangan lainnya. Dengan demikian, para pelaku bisnis di industri ini harus lebih mengedepankan compliance dan good corporate governance.  

Peran industri fintech lending yang semakin mengakar bisa dilihat dari semakin meningkatnya penyaluran pendanaan yang dilakukan. Hingga 2022, akumulasi penyaluran pendanaan oleh pelaku industri fintech lending berizin OJK atau pinjaman online legal yang menjadi anggota AFPI sudah mencapai Rp476,89 triliun per Oktober 2022 dengan 93,39 juta pengguna yang terdiri dari akumulasi rekening borrower mencapai 92,40 juta dengan rekening aktif sebesar 18,71 juta dan akumulasi rekening lender mencapai 980.370 dengan rekening aktif sebesar 151.240.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyampaikan diperlukan mitigasi strategis dan kesiapan industri fintech termasuk Fintech P2P Lending dalam menghadapi tantangan berupa ancaman resesi global, biaya dana tinggi sehingga sulitnya mendapatkan pendanaan, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Namun dibalik tantangan tersebut,  ada potensi yang dapat dimanfaatkan industri fintech termasuk P2P Lending, yakni ekonomi digital di Indonesia per 2022 mencapai US$ 77 miliar dan diperkirakan memiliki prospek mencapai US$130 miliar pada 2025, dan US$ 220-360 miliar pada 2030 (berdasarkan data Google, Temasek, dan Bain & Company, 2022),” kata Tris.

Tris pun menyebutkan, ada enam tantangan yang harus diatasi oleh industri fintech lending sepanjang tahun depan, yakni: pertama, governance & risk management; kedua, keandalan sistem dan credit scoring; ketiga, pengembangan produk/model bisnis; keempat, hadirnya undang-undang perlindungan data pribadi; kelima, eksplorasi ekosistem; dan keenam, keamanan siber. 

“Oleh karena itu, ada tiga pilar untuk menjadikan industri P2P lending tumbuh berkualitas, sehat, dan berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional, yakni penguatan kepada penyelenggara P2P lending sendiri, penguatan kepada lembaga profesi dan asosiasi, serta penguatan di internal OJK yang sedang dilakukan,” kata Tris.

Penguatan terhadap penyelenggara P2P lending berupa penguatan tata kelola (good governance) dan manajemen risiko perusahaan. Penguatan di lembaga profesi dan asosiasi berupa lembaga profesi penunjang bekerja profesional, independen, dan sesuai dengan kode etik dan best practices. Asosiasi industri berperan memberikan pembinaan perilaku usaha kepada anggotanya dan berperan dalam perlindungan konsumen (termasuk edukasi masyarakat). Penguatan OJK yakni OJK melakukan pembenahan di internal untuk dapat melakukan pengaturan, perizinan, dan pengawasan lebih efektif. OJK melakukan fungsi pengawasan dan mengoptimalkan dukungan teknologi informasi dalam pengawasan (sup-tech) dan meningkatkan kapasitas SDM.

Tris optimistis dengan rencana bisnis yang baik dan kuat, pelaku industri fintech pendanaan bisa terus bertumbuh positif. “Kondisi ini masih stabil. Tekanan seperti ini, saya yakin teman-teman masih bisa mengatasi tekanan itu. Kalau kita lihat, peluang masih banyak,” katanya.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono dalam pesan penutupnya mendorong agar industri fintech bisa terus bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. Para pelaku industri fintech lending diharapkan dapat menjalankan bisnisnya sesuai tata kelola dan manajemen risiko yang baik di bawah naungan AFPI.

“Kami berharap AFPI menjadikan anggota punya standar terkait dengan etik, bagaimana melakukan usaha ini dan juga bisa berperan untuk menjadi mediator antara OJK sebagai regulator dan pelaku usaha yang menjadi anggota AFPI,” ujarnya.

* * *

Share: