Image Description

Penetapan Batas Maksimal Biaya Layanan Fintech Lending Sebagai Komitmen Perlindungan Konsumen

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memastikan pengaturan batasan bunga di industri financial technology peer-to-peer lending lebih dalam konteks mengedepankan perlindungan konsumen. Berawal pada akhir 2016 saat pertama kali P2P Lending diregulasi sampai hari ini telah mengalami beberapa penyempurnaan kebijakan. Asosiasi memiliki 5 pilar arsitektur aktivitas: advokasi kebijakan, pedoman perilaku, edukasi & literasi, pengelolaan data & informasi, serta kolaborasi. Kelima arsitektur ini merupakan acuan dalam penentuan arah kebijakan industri, yang diimplementasikan dalam beragam kebijakan dan aktivitas.


Terkait penetapan batas maksimum pengenaan biaya, berdasarkan Peraturan Asosiasi pada 5 November 2021 ditetapkan batas pengenaan bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya adalah maksimal 0,4% per hari, yang merupakan perubahan dari ketentuan sebelumnya yang mengatur maksimal 0,8% per hari.
Penetapan maksimum biaya layanan tersebut dilatari keinginan industri agar masyarakat terlindungi dari praktik pinjaman berbunga tinggi (predatory lending). Dimana sejak awal beroperasinya peer-to-peer lending berizin OJK juga dibayangi pinjol ilegal yang beroperasi dengan ciri khas mengenakan biaya dan denda tinggi tanpa perjanjian, penagihan yang kasar, dan penyebaran data pribadi.


Penurunan dan penetapan maksimal biaya layanan yang telah diterapkan di industri pada praktiknya telah menghadirkan faktor pembeda dengan pinjol ilegal. Perlahan masyarakat semakin dapat memahami dan menghindari layanan pinjol ilegal. Di bawah supervisi OJK, AFPI terus mendorong agar terus terjadi efisiensi di ekosistem fintech lending pada satu sisi, dan pada sisi lain agar layanan semakin dapat dijangkau dan semakin luas memberi kesempatan kepada masyarakat. 


Pada praktiknya, 101 Penyelenggara memiliki segmen, produk, dan model bisnis yang beragam. Tidak sedikit yang menawarkan biaya layanan lebih rendah dari batas maksimal. Utamanya untuk jenis produk-produk pendanaan bagi UMKM dalam rangka mendukung keperluan usaha. Pada sisi lain, penetapan batas maksimum bunga juga mempertimbangkan profil risiko dari calon peminjam. 


Ketua Umum terpilih AFPI periode 2023-2026, Entjik S. Djafar mengatakan mekanisme penentuan maksimum bunga 0,4% perhari dilakukan untuk melindungi masyarakat dari jeratan bunga yang tinggi. Hal ini sejalan dengan aspek perlindungan konsumen yang menjadi salah satu perhatian Asosiasi dalam hal penegakan praktik bisnis anggotanya.


“Menurut pendapat saya, batasan bunga yang digunakan adalah batas maksimum sehingga tidak ada batasan minimumnya. Dengan penetapan batas maksimum, maka anggota terbuka untuk menawarkan bunga dan layanan terbaik pada masyarakat,”  tegas Entjik, Senin (9/10). 


Per Agustus 2023, OJK juga mencatat jumlah penyelenggara fintech lending yang berizin OJK sebanyak 101 perusahaan dengan total akumulasi penyaluran pendanaan fintech lending mencapai Rp677,51 triliun dengan porsi 37,89% dari total pendanaan industri disalurkan kepada sektor produktif termasuk UMKM. Terbukti, beberapa pelaku fintech lending secara khusus telah menyalurkan pinjaman kepada  lebih dari 2 juta ibu-ibu di pasar tradisional sampai ke desa-desa. Sejak hadirnya fintech lending berizin OJK banyak warga mendapatkan akses ke alternatif pendanaan untuk mengatasi keperluan mendesak secara cepat dan bermanfaat.


Senada, pengamat ekonomi digital menyatakan ketentuan batas maksimal bunga harian pinjol yang diberlakukan AFPI kepada anggotanya bukan termasuk kartel. Mekanisme ini justru turut menciptakan sistem persaingan usaha sehat sekaligus melindungi konsumen dari jeratan bunga yang tinggi. 

Piter Abdullah, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, menjelaskan kartel adalah praktik yang kesepakatannya merugikan konsumen dengan cara menetapkan harga setinggi-tingginya. 


“Ini kan masih bersaing dalam koridor suku bunga yang rendah. Kalau kesepakatan itu dilakukan tidak dalam rangka membebani konsumen, bukan praktik kartel yang harus kita lawan,” ujarnya.


Menurutnya, dalam konteks menciptakan sistem persaingan usaha yang sehat dan perlindungan konsumen, pemerintah juga sering kali melakukan hal yang sama terhadap harga, misalnya dengan penetapan harga eceran tertinggi (HET) produk yang dikonsumsi masyarakat.


Presiden Direktur Credit Bureau Indonesia (CBI) Agus Subekti menambahkan CBI sebagai Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan selama ini berperan menyediakan laporan perkreditan dan skor kredit untuk membantu fintech P2P lending dalam proses penilaian dan mitigasi risiko kredit calon debitur. 
Dalam kaitannya dengan masalah suku bunga, laporan perkreditan dan skor kredit juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penerapan tingkat suku bunga yang berbasis tingkat risiko (risk-based pricing). Contohnya calon debitur yang memiliki tingkat risiko rendah kemungkinan akan mendapatkan suku bunga yang relatif rendah," jelasnya. 


“Selain itu, produk dan layanan CBI juga membantu fintech P2P lending dalam menjangkau calon debitur yang belum memiliki catatan kredit (inklusi keuangan). Hal tersebut dapat dimungkinkan karena selain menggunakan sumber data kredit, CBI juga memanfaatkan sumber data lainnya yang kredibel antara lain data telekomunikasi, dimana mayoritas masyarakat Indonesia sudah menggunakan sarana telekomunikasi. Skor berbasis data telekomunikasi ini, telah diteliti secara cermat sehingga memiliki tingkat akurasi yang tidak kalah dengan skor kredit. 


Sejalan dengan visi dan misi CBI yaitu menjadi biro kredit yang berorientasi pada kebutuhan pengguna (customer-centric), CBI menyediakan layanan skor dan laporan kredit yang 100% dapat dikustomisasi sesuai dengan kebutuhan pengguna. Dengan dukungan data yang inklusif, akurat dan up-to-date serta sistem yang reliable, CBI siap mendukung peran fintech P2P lending dalam penyaluran dan mitigasi risiko kredit guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan keuangan nasional.

***

Share: