Membumikan Sustainable Finance di Akar Rumput
Membumikan Sustainable Finance di Akar Rumput
Andi Taufan Garuda Putra, Ketua Bidang Humas AFPI dan CEO Amartha | Opini
ISTILAH sustainable finance (keuangan berkelanjutan) menjadi ragam pembahasan di kalangan industri keuangan di Tanah Air. Mewujudkan model keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup ini, sebaiknya tidak hanya didorong untuk korporasi besar, tetapi juga usaha kecil di akar rumput.
Segmen akar rumput ini patut mendapat perhatian karena paling dekat dengan masyarakat. Ekonomi akar rumput yang dimaksud adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), para petani, nelayan, pedagang dan pelaku utama ekonomi lain di lapisan bawah yang langsung berhadapan dengan lingkungan sekitar kita. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah per Maret 2021, jumlah UMKM di Tanah Air mencapai 64,2 juta.
Dalam konteks pembiayaan dan pendampingan ekonomi akar rumput, fintech pendanaan menjadi sektor keuangan yang dianggap sebagai media percepatan perluasan akses permodalan dan pemberdayaan UMKM. Dalam perjalanannya pendanaan fintech kepada UMKM mengalami pertumbuhan sangat pesat. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Desember 2021 tercatat sebanyak 17,28 juta rekening dengan outstanding pinjaman senilai Rp24,8 triliun. Nilai pinjaman telah tumbuh 727% dalam kurun 3 tahun.
Seiring dengan pertumbuhan pendanaan terhadap UMKM tersebut, sisi investor atau lender yang memberikan pinjaman melalui fintech pendanaan juga berpotensi semakin meningkat. Dalam kaitannya dengan keuangan berkelanjutan, permintaan terhadap produk keuangan yang ramah lingkungan juga meningkat. Menurut survei BNP Paribas Global, minat investor terhadap produk berbasis lingkungan (environment, sustainable, governance) meningkat 20% sejak pandemi covid-19. Maka dari itu, keuangan berkelanjutan di tingkat akar rumput diharapkan dapat memenuhi permintaan terhadap produk investasi hijau.
Tanam perilaku keberlanjutan
Karakter fintech pendanaan sebagai pembawa inovasi dalam sektor keuangan, tidak hanya berhenti pada peningkatan literasi dan inklusi keuangan. Kini fintech pendanaan telah menuju literasi keberlanjutan agar masyarakat dapat menerapkan prinsip menjalankan usaha diselaraskan dengan prinsip menjaga lingkungan.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) meyakini bahwa kesejahteraan dan keberlanjutan dalam masyarakat akar rumput dan UMKM dapat berjalan secara bersamaan. Anggota AFPI telah memberikan edukasi dan pendampingan akan pentingnya praktik bisnis berkelanjutan. Salah satunya terkait tata kelola dana pinjaman secara bijak dan kewirausahaan berkelanjutan. Itu dilakukan yang mana dana yang disalurkan kepada peminjam dengan segmen para perempuan tangguh, pengusaha kecil dan mikro di pelosok pedesaan.
Kemudian memberikan pelatihan kewirausahaan berkelanjutan, mengolah produk dengan ramah lingkungan, pengelolaan limbah menjadi produk yang memiliki nilai jual, peningkatan pendidikan anak peminjam dengan program beasiswa, penanaman mangrove di lingkungan peminjam, hingga program penerangan dengan panel surya di wilayah pedesaan Indonesia.
Ke depan, UMKM membutuhkan pedoman dan panduan standar penerapan bisnis berkelanjutan yang tentunya disesuaikan dengan kondisi UMKM di Indonesia dan tidak memberatkan bisnis mereka. Sehingga memberikan nilai lebih bagi UMKM untuk mendapatkan pendanaan dengan sertifikasi UMKM berkelanjutan. Impaknya, hal ini bisa menjadi pilihan produk pembiayaan bagi para investor atau lender yang menyukai produk berkelanjutan.
Ekosistem keuangan keberlanjutan
Isu keuangan berkelanjutan juga menjadi salah satu hal penting yang dibahas pada ajang pertemuan negara-negara kelompok G-20 tahun ini. Indonesia telah menyusun rencana kerja 2022 dalam sustainable finance working group, yang salah satunya adalah meningkatkan instrumen keuangan berkelanjutan, dengan berfokus pada aksesibilitas dan penguatan konsep fintech dan keuangan berkelanjutan demi mempermudah akses bagi UMKM.
Peran fintech pendanaan sebagai katalisator UMKM Indonesia, melalui layanan keuangan, pendampingan dan pemberdayaan UMKM menjadi sangat strategis untuk dapat dilibatkan dalam pembentukan ekosistem keuangan berkelanjutan di Indonesia. Dengan berkolaborasi bersama pusat, daerah, e-commerce, dan pelaku usaha rintisan di sektor keuangan agar sama-sama fokus untuk meng-upgrade kapasitas UMKM di Indonesia.
Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu diperkuat dengan dasar infrastruktur yang kuat, mengacu pada elemen-elemen penting seperti taksonomi hijau yang menjadi panduan dalam pengembangan ekosistem yang mendukung salah satunya pembiayaan hijau dan inklusif untuk UMKM di Indonesia. Dari penerapan taksonomi hijau tersebut, dapat dilihat sektor usaha dari UMKM yang mendukung perlindungan hidup dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
Di samping itu, dibutuhkan juga regulasi yang mendukung penguatan fintech pendanaan sehingga dapat mendorong keberlanjutan di tingkat akar rumput. Regulasi baru berupa RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang memuat sektor fintech pendanaan menjadi satu bagiannya. Selain itu, regulasi yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang fintech pendanaan juga telah mencakup hal-hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan operasional fintech pendanaan.
Kemudian, pengembangan infrastruktur juga sangat krusial dalam pembentukan ekosistem keuangan berkelanjutan. Infrastruktur dalam hal jaringan internet hingga ke seluruh wilayah Indonesia perlu diperkuat dan dapat mendorong digitalisasi. Dengan jaringan yang lebih menyeluruh, hingga ke pelosok daerah Indonesia, diharapkan bisa memudahkan akses masyarakat kepada layanan fintech pendanaan.
Dibutuhkan insentif
Sebagai sebuah konsep yang masih berkembang, keuangan berkelanjutan tentu masih menghadapi banyak tantangan. Maka dari itu, diperlukan adanya insentif dari pemerintah untuk memperbesar porsi keuangan berkelanjutan ini termasuk bagi pengembangan UMKM. Sejauh ini, pemerintah sudah cukup banyak memberikan insentif bagi UMKM melalui perbankan terutama untuk pemulihan ekonomi pascapandemi. Namun, dibutuhkan juga insentif bagi ekosistem termasuk upaya mendorong fintech pendanaan agar dapat mendorong UMKM yang mendukung upaya berkelanjutan.
Insentif bagi pelaku fintech pendanaan juga dapat diberikan dalam bentuk stimulasi perpajakan, penjaminan kredit hingga dukungan kemitraan sehingga biaya operasional semakin murah, dengan tujuan melayani masyarakat UMKM di daerah tertinggal, terdepan dan terluar.
Tujuan pemberian insentif ini tentu peningkatan inklusi keuangan berkelanjutan di Tanah Air. Harapannya, selain pendanaan lebih banyak dari fintech pendanaan juga sektor UMKM yang berkelanjutan juga tumbuh berdaya saing.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/489194/membumikan-sustainable-finance-di-akar-rumput